* Minsera.Blogspot.com * Amerika Serikat dan Rusia, Jumat (14/3/2014), gagal membuat kesepakatan soal krisis di Crimea dan Ukraina. Jam pun kembali berdetak menuju kemungkinan perang pecah, baik perang terbuka maupun perang dingin. Situasi di Ukraina terus memanas menyusul dugaan intervensi Rusia di Crimea yang mendorong berlangsungnya referendum Crimea memisahkan diri dari Ukraina dan bergabung ke Rusia.
Menteri Luar Negeri AS John Kerry, Jumat pagi, terbang ke London, Inggris, untuk bertemu dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov. Pergerakan bak angin puyuh Kerry dalam sepekan ini membawa impian referendum Crimea yang dijadwalkan berlangsung pada Minggu (16/3/2014) dapat dicegah atau setidaknya ditunda.
Namun, harapan tinggal harapan. Meski demikian, setidaknya Kerry mengaku mendapatkan jaminan dari Lavrov bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin tak sedang bergerak cepat mencaplok Crimea. Lavrov juga disebut menjamin tentara Rusia di Crimea kembali ke barak mereka sebagaimana isi perjanjian Laut Hitam.
Pembicaraan Kerry dan Lavrov berlangsung selama enam jam, termasuk dua jam tete-a-tete saat mereka berjalan-jalan di lapangan kediaman mewah Duta Besar Amerika Serikat di London. Lavrov mengatakan Rusia dan Barat tak punya pandangan yang sama soal Ukraina. "Kami tidak punya visi bersama tentang situasi (di Ukraina)," kata Lavrov.
Lavrov mengisyaratkan bahwa Moskwa memutuskan membawa Crimea ke bawah kendalinya. "Semua orang memahami—dan saya mengatakan ini dengan semua tanggung jawab—apa artinya Crimea bagi Rusia, yang itu punya arti lebih luas dibandingkan Comoros bagi Perancis atau Falklands bagi Inggris."
Adapun Kerry kembali memperingatkan Rusia bahwa masyarakat internasional tidak akan mengakui referendum Crimea. Bila referendum itu tetap berlanjut, ujar dia, akan ada beragam sanksi internasional sebagai sanksinya.
Ditanya soal waktu Amerika Serikat akan menanggapi referendum, Juru Bicara Gedung Putih Jay Carney mengatakan, "Secepatnya."
Seusai pertemuan gagal di London, Kerry mengatakan bahwa Washington tak punya keinginan menjatuhkan sanksi pada Moskwa. Namun, dia mengatakan pula bahwa ancaman sanksi saja sudah merontokkan bursa Moskwa. Pasar saham ini jatuh ke titik terendah dalam empat tahun terakhir, diduga karena para investor khawatir menjelang referendum. Setali tiga uang, nilai tukar mata uang rubel Rusia pun anjlok terhadap mata uang utama dunia.
Tekanan internasional
Pimpinan NATO, Anders Fogh Rasmussen, mendesak Moskwa bertindak dengan tanggung jawab. "Referendum (Crimea)... akan merusak upaya internasional menemukan solusi damai dan politik (untuk Crimea dan Ukraina)," ujar dia. Negosiasi politik, menurut dia, tetap harus dilakukan terlebih dahulu. "Rusia harus bertindak secara bertanggung jawab, menjunjung tinggi kewajibannya di bawah hukum internasional."
Kerry dijadwalkan tiba kembali di Washington, Sabtu (15/3/2014) pagi, untuk konsultasi dengan Gedung Putih. Para pemimpin dunia diperkirakan cenderung meningkatkan tekanan kepada Rusia pada jam-jam terakhir menjelang referendum Crimea.
Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, Jumat, menelepon Putin dan sesudahnya mengatakan dia masih berpikir kemungkinan perundingan solusi meskipun dia mengakui saat ini dunia berada di persimpangan. Dewan Keamanan PBB, Sabtu, dijadwalkan melakukan pemungutan suara untuk mengeluarkan resolusi terkait situasi di Ukraina ini.
Ukraina, negara bekas bagian Uni Soviet berpenduduk 46 juta, ini rawan menjadi daerah konflik internasional karena ada lebih dari 8.000 tentara Rusia rutin menggelar latihan di perbatasan timur negara ini. Sementara itu, pesawat pengintai dan pesawat tempur milik NATO dan Amerika Serikat pun secara rutin berpatroli di langit Uni Eropa, tetangga di sebelah barat Ukraina.
Meskipun Amerika mendeteksi pergerakan militer Rusia di perbatasan timur Ukraina, Lavrov mengataan Moskwa tak punya dan tak berencana punya rencana untuk menginvasi wilayah tenggara Ukraina yang penduduknya mayoritas menggunakan bahasa Rusia dalam percakapan sehari-hari.
Referendum Crimea memberikan pilihan bagi warga di daerah yang menjadi kekuasaan tsar dan angkatan laut Kremlin sejak abad ke-18 ini, bergabung dengan Rusia atau mendapatkan penguatan signifikan atas otonomi mereka di Ukraina.
Para pemimpin Crimea memperkirakan kemenangan mudah akan didapat untuk pilihan bergabung dengan Rusia. Namun, warga muslim Tartar yang merupakan 12 persen dari total 2 juta penduduk Crimea, berseberangan pendapat. Warga Tartar ini menggelar unjuk rasa setelah shalat Jumat, memprotes referendum yang menurut mereka ilegal dan menyerukan pemboikotan referendum.
Pada Senin (17/3/2014), Uni Eropa sudah menjadwalkan pertemuan yang membahas larangan perjalanan ke Ukraina dan pembekuan aset.
Sumber: http://internasional.kompas.com/read/2014/03/15/0405370/Pembicaraan.AS-Rusia.Gagal.Jam.Berdetak.Menuju.Kemungkinan.Perang
0 comments:
Post a Comment