Wednesday, 5 June 2013

Menanti Indonesia Air Force One


* Minsera.Blogspot.com * Presiden SBY akan mendapatkan kado istimewa di bulan Agustus 2013, berupa Indonesia Air Force One BBJ2 yang siap mengantar Presiden untuk kunjungan ke dalam maupun luar negeri. Keberadaan pesawat kepresidenan ini diharapkan membantu kinerja presiden, khususnya ketika melakukan lawatan ke tempat yang jauh. Terbang ke luar negeri selama belasan jam, bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Apalagi ketika masuk jam tidur, tidak bisa merebahkan secara sempurna.

Pesawat kepresidenan nanti, dilengkapi dengan kamar tidur utama, kamar mandi dengan shower, ruang konferensi/ruang makan, dan kamar tamu. Badan pesawat terdiri dari dua lantai dan memiliki tempat duduk hingga 70 penumpang dengan konfigurasi mewah. Presiden akan merasa berada di rumah atau di ruang kerja, membuat energinya tidak habis terserap dengan kepenatan penerbangan yang panjang. Boeing 737-8U3(BBJ2) juga akan dilengkapi dengan alat komunikasi yang canggih serta sistem keamanan modern.
“Ya, Indonesia telah melakukan order khusus untuk Boeing Business Jet,” ujar Media Relations Boeing Commercial Airplanes AS, Doug Alder kepada wartawan, Selasa (4/6/2013).
Dari hitung-hitungan biaya, Pesawat kepresidenan ini bisa digunakan selama 35 tahun, sehingga Presiden berikutnya masih bisa menggunakan pesawat Boeing 737-8U3, setelah masa jabatan Presiden SBY habis tahun 2014. Kementerian Sekretariat Negara telah melakukan kalkulasi pada tahun 2009, bahwa pembelian pesawat kepresidenan akan lebih efektif untuk jangka panjang dibandingkan menyewa pesawat.
Pesawat Boeing 737-8U3(BBJ2) Indonesian Air Force dibeli Indonesia seharga US$ 91,2 juta atau sekitar Rp 820 miliar, dengan rincian: US$ 58,6 juta untuk badan pesawat, US$27 juta untuk interior kabin, US$ 4,5 juta untuk sistem keamanan, dan US$1,1 juta untuk biaya administrasi.
Pesawat ini dibeli dengan cara dicicil tiga kali sejak tahun 2010. Beberapa fitur tambahan dari Boeing Business Jet 2 antara lain: Enam tangki bahan bakar di badan pesawat agar bisa terbang nonstop selama 10-12 jam, sistem keamanan serta interior cabin.
Interior BBJ2 (Photo: airlinereporter.com)
Interior BBJ2 (Photo by Boeing)
Interior BBJ2 (airlinereporter.com)
Kamar Tidur  BBJ2 (photo by Boeing)
Kamar Mandi Shower (photo by Boeing)
Kamar Mandi Shower (photo by Boeing)
Dapur BBJ2 (Photo by Boeing)
Dapur BBJ2 (Photo by Boeing)
Boeing Business Jet 2 (Photo: FlightSim.Com)
Boeing Business Jet 2 (Photo: FlightSim.com)
Kriteria dan spesifikasi pesawat kepresidenan adalah: mampu terbang selama 10-12 jam, mampu mendarat di bandara kecil, memiliki kapasitas sesuai rombongan presiden ( 70 orang), memiliki peralatan navigasi, komunikasi, cabin insulation dan inflight entertainment khusus.
Boeing BBJ2 memiliki panjang sekitar 39,5 meter, panjang sayap 35,8 meter, tinggi ekor 12,5 meter dan memiliki diameter 3,73 meter. Untuk interiornya, BBJ2 memiliki panjang 29,97 meter, dengan tinggi 2,16 meter dan lebar 3,53 meter.
BBJ 2 dibeli pemerintah sebagai upaya efisiensi. Pertimbangannya bila menyewa pesawat Garuda, ongkosnya lebih mahal. “Untuk kepentingan efisien, jangka menengah dan panjang, agar digunakan setiap saat tanpa mengganggu jadwal Garuda, maka diadakan pesawat sendiri,” ujar Presiden SBY awal tahun 2012.
Selama ini, Presiden SBY menyewa pesawat jenis 787-800 NG untuk penerbangan domestik dan Airbus jenis A330 untuk penerbangan jarak jauh atau internasional.
Di 68 tahun kemerdekaannya nanti, Indonesia akhirnya mampu membeli Pesawat Kepresidenan super canggih Air Force One Indonesia.


Sumber: 
 JKGR

Puluhan Negara Tandatangani Traktat Perdagangan Senjata


* Minsera.Blogspot.comPerwakilan lebih dari 60 negara anggota PBB mulai menandatangani Traktat Perdagangan Senjata Api yang disepakati April lalu. Traktat ini akan mengatur perdagangan senjata global yang nilainya lebih dari US$70 miliar.

Diberitakan Voice of America, PBB mengatakan ada 62 negara dari Eropa, Amerika Latin, Asia dan Afrika yang akan menandatangani traktat tersebut pada Senin waktu setempat. Para Menlu negara-negara tersebut mengantre untuk tanda tangan pada sebuah upacara resmi.

Menteri Luar Negeri Argentina Hector Timerman merupakan perwakilan pertama yang menandatangani traktat itu. Tepuk tangan membahana usai Timerman membubuhkan tanda tangannya. Total akan ada 154 negara yang menyetujui traktat tersebut dalam beberapa hari ke depan.

Amerika Serikat sebagai pengekspor senjata nomor 1 dunia baru akan menandatangani traktat itu setelah terjemahan resmi dari PBB selesai.

Traktat tersebut mengatur standar penjualan senjata lintas batas, mulai dari perdagangan senjata kecil hingga tank dan helikopter. Dalam traktat, juga diatur perjanjian mengikat bagi negara-negara untuk meninjau penggunaan senjata oleh negara pembeli. Hal ini demi mencegah pelanggaran HAM, terorisme, pelanggaran kemanusiaan atau kejahatan terorganisir, yang dilakukan oleh negara pembeli.

Tiga negara menolak traktat ini, yaitu Korea Utara, Suriah dan Iran. Sementara 23 negara pilih abstain, di antaranya adalah Rusia, China, India dan Indonesia. Negara yang abstain menilai bahwa traktat itu diskriminatif. 

Menlu RI Marty Natalegawa April lalu mengatakan bahwa traktat ini melanggar UU no 16 tahun 2012 pasal tiga ayat lima yang intinya menyatakan Indonesia melarang melakukan impor senjata apabila terdapat kondisionalitas politik.
Traktat ini akan mulai berlaku 90 hari setelah 50 negara meratifikasinya.


Sumber:  Vivanews

Arab Saudi Sepakati Kerjasama Pertahanan Dengan Indonesia


* Minsera.Blogspot.com * Kabinet Arab Saudi sepakat untuk menandatangani pakta pertahanan dengan Indonesia. Otoritas dari Kementrian Pertahanan akan mengadakan pertemuan dengan pemerintah Indonesia untuk menyimpulkan perjanjian.
Wakil Penjaga Dua Masjid Suci, Pangeran Salman memimpin rapat mingguan untuk perkembangan regional dan internasional. Termasuk situasi di Suriah dan Palestina. Kabinet juga mengutuk pelanggaran HAM terhadap Muslim Rohingya di Myanmar. 


Dalam laporan Arab News, tidak dirinci pakta pertahanan yang akan ditandatangani dengan Indonesia. Arab News hanya memberi penjelasan mengenai pembahasan dalam pertemuan tersebut. 


Selain pertahanan, kabinet juga membahas mengenai ekonomi Saudi terkait peringkat utang dari Standard & Poor yang naik dari stabil menjadi positif (AA). Hal itu menekankan kepercayaan diri ekonomi Arab Saudi. 

Kabinet juga mendiskusikan sejumlah topik termasuk informasi finansial tahunan. Namun, tidak ada rincian mengenai hal tersebut

Sumber: 
 Republika

Kapal Selam RI Pertama Made in Surabaya Siap Diproduksi 2014



* Minsera.Blogspot.com Jakarta - Produsen pembuat kapal pelat merah, PT PAL (persero) berencana mengembangkan kapal selam pertama produksi Indonesia. Kapal selam ini, nantinya diproduksi di Surabaya, Jawa Timur.

Menggandeng Korea Selatan, kapal selam ini merupakan bagian dari 3 unit pesanan untuk TNI AL. 

Direktur Utama PAL Firmansyah menjelaskan saat ini, 2 unit kapal selam sedang diproduksi dan dikembangkan di Korea Selatan, sementara untuk jatah PAL, mulai diproduksi pada tahun 2014.

"2014 start, mungkin 2018-2019 satu unit (jadi)," ujar Firmansyah kepadadetikFinance, Rabu (5/6/2013).

Saat ini, PAL telah mengirimkan sebanyak 206 tenaga ahli di bidang desain dan produksi ke Korea Selatan. Pengiriman ini untuk mendukung program pengembangan kapal selam merah putih. Harapannya, sebagian besar komponen kapal selam yang diproduksi di Surabaya Jawa Timur
menggandung banyak komponen lokal.

"Sebanyak mungkin kandungan lokalnya," tambahnya.

Untuk pengembangan 3 kapal selam di Indonesia dan Korea Selatan, Kementerian Pertahanan Indonesia menggelontorkan anggaran mencapai US$ 1 miliar.

Sumber:
http://finance.detik.com

DPR Kritisi Hibah Alutsista Dari Negara Lain

F-16  at AMARG Arizona
* Minsera.Blogspot.com * Komisi I DPR mengkritisi permasalahan hibah alutsista (alat utama sistem persenjataan) dari negara lain. Wakil Ketua Komisi I TB Hasanuddin menuturkan pada tahun 2011 sesuai dengan renstra (rencana strategi)  TNI akan membeli 6 unit F 16 blok 52 yang merupakan unit tercanggih dan terbaru seharga USD 600 juta .


Tapi kemudian pemerintah melalui KSAU saat itu tiba-tiba memutuskan  menerima hibah pesawat-pesawat F 16  ( bekas US National Guard ) yang sudah teronggok di Gurun Arizona  sebanyak 24 unit," kata TB Hasanuddin dalam keterangan yang diterima Tribunnews.com, Selasa (4/6/2013).


TNI, katanya, harus  harus membayar lebih dari USD 700 juta untu, memperbaiki, membawanya dan tetap dalam standar pesawat tua yakni. blok 25 dan blok 32 . Ia mengatakan secara jumlah alutista memang bertambah, namun dari efek daya tangkal terhadap sistim pertahanan udara , hampir tidak ada 

Ia pun berharap pemerinta dan DPR duduk bersama membuat definisi mengenai hibah. "Agar hibah benar-benar hibah murni , tak ada motif politik negara lain sifatnya mengikat , apalagi hanya menguntungkan calo," tuturnya






Sumber: Tribunnews

Australia Siap Kirim Satu Hercules ke Indonesia


* Minsera.Blogspot.com * Kementerian Pertahanan tetap melanjutkan proses hibah empat unit pesawat C130 Hercules dari Australia. Kementerian mengatakan pihak Australia saat ini sedang mengerjakan perbaikan dan peremajaan pesawat angkut itu. 

Kementerian menyebutkan salah satu pesawat Hercules selesai diperbaiki dan siap dikirim ke Tanah Air. "Setidaknya satu unit pesawat akan datang dalam waktu dekat," kata Kepala Badan Sarana Pertahanan, Laksamana Muda Rachmad Lubis, kepada Tempo, Selasa, 4 Juni 2013.

Rachmad melanjutkan, perbaikan empat unit pesawat buatan Lockheed Martin merogoh kantong Indonesia sebesar US$ 63 juta atau sekitar Rp 620 miliar. Tiga sisa pesawat Hercules akan dikirim pemerintah Australia paling lambat awal tahun depan.

Sebelumnya, TNI Angkatan Udara masih bimbang menanggapi tawaran hibah empat unit pesawat Hercules dari Australia. Sebab, Angkatan Udara menilai Indonesia lebih banyak rugi ketimbang untung menerima hibah pesawat angkut dari Negeri Kanguru itu. Salah satunya biaya perawatan yang terlalu mahal. 

Menurut TNI AU, duit yang harus digelontorkan Indonesia untuk biaya perbaikan empat unit Hercules Australia mencapai US$ 150 atau sekitar Rp 1,48 triliun. Angka itu hampir separuh dari biaya pembelian empat unit pesawat Hercules baru. 

Kerugian lain, spesifikasi Hercules Australia tersebut berbeda dengan Hercules milik Indonesia. Hingga kini, TNI AU memiliki C 130 Hercules tipe J dan L, sementara milik Australia bertipe M dan Q. Dengan demikian, suku cadang harus dibeli baru.

Sumber: 
http://www.tempo.co