Dia dikenal sebagai penembak jitu. Karena kemampuan itu pula, ketika tentara Brunei Darussalam meminta TNI mengirimkan anggotanya untuk menjadi pelatih di negeri berpenduduk sekitar 500 ribu jiwa tersebut, Pardal langsung ditunjuk. Kehadiran Pardal di negara kaya ladang minyak dan gas tersebut adalah untuk melatih Tim Rifle dalam menembak. Mulai Februari hingga November 2013, dia menggembleng tim yang akan diterjunkan dalam ASEAN Armies Rifle Meet (AARM) tersebut.
’’Saya dikirim agar Tim Rifle bisa naik derajat di AARM, sebuah lomba menembak prestisius yang diikuti sepuluh negara ASEAN,’’ paparnya.
Tim Rifle Brunei beranggota LKpl Mohd Nor, LKpl Mohd Izwandi, LKpl Saiful, LKpl Azian, Kpl Mas Azi, SJN Romeo Eddy, Sld Modh Amizan, Sld Mushab, Sld Mustapa, Kpl Tony, dan Sld Safwan. ’’Mereka semua saya latih,’’ tegasnya.
Namun, bukan hal mudah untuk melatih anggota militer yang memiliki karakter dan metode pelatihan yang berbeda. Pada awal pertemuan, Pardal melihat posisi menembak sejumlah anggota Tim Rifle tidak kukuh. Karena itu, tembakan mereka tidak tepat pada target.
’’Kebanyakan mereka menembak dengan posisi jongkok dan menempatkan magazin di paha. Posisi itu kurang kukuh. Seharusnya magazin itu tepat di ujung paha. Jadi, bisa menahan getaran,’’ jelasnya.
Dari satu kejadian itu, Pardal mulai curiga. Dia berpikir, jangan-jangan memang tidak ada metode baku untuk menembak yang diterapkan tim Rifle. Dugaan itu terbukti saat Pardal melihat mereka berlatih. Kebanyakan asal datang ke lapangan tembak dan berlatih menembak. ’’Dari situ, saya mulai mengubah sistemnya,’’ paparnya.
Akhirnya, Pardal menetapkan jadwal latihan yang harus ditempuh dalam sehari. Pagi, awal latihan dimulai dengan lari 3 kilometer. Namun, bukan lari biasa. Mereka diajak lari sprint yang tiap 100 meter harus diganti dengan merayap tiarap. Lebih gila, saat tiarap itu, semua harus menahan napas.
Pardal tidak sekadar menyuruh, dia juga ikut bergabung berlari bersama mereka. ’’Ini untuk meningkatkan stamina para penembak,’’ tutur pria kelahiran Sukoharjo, Jawa Tengah, tersebut.
Ekstremnya latihan tersebut membuat dua anggota Tim Rifle pingsan. Keduanya pun harus dibawa ke klinik. ’’Memang, latihan ini lebih keras daripada biasanya. Tetapi, seorang prajurit harus bisa,’’ tegas suami Ery Wijayanti itu.
Setelah menyelesaikan lari 3 kilometer, agak siang, barulah tim militer Brunei itu berlatih menembak seperti biasa di lapangan. Tentu dengan perbaikan berbagai posisi, mulai jongkok hingga berdiri. ’’Awal-awal, saya yang juga ikut menembak selalu menang.”
Banyak hal yang harus diperbaiki untuk meningkatkan kemampuan tim tersebut. Menu latihan ekstrem akhirnya ditambah. Pardal mengajak Tim Rifle berlatih di kolam renang. Bukan berenang biasa, tetapi menyelam di kedalaman 2,5–3,5 meter selama mungkin. ’’Ini untuk melatih pernapasan,’’ tuturnya.
Anggota Tim Rifle pun mencoba latihan itu. Mereka menyelam bersama tanpa mengeluh. Tetapi, sesaat kemudian, satu per satu mereka menyembul ke permukaan. Setelah 1 menit, Pardal tinggal sendirian di dasar kolam. Barulah 30 detik kemudian, dia naik ke permukaan. ’’Mereka ternyata hanya mampu kurang dari satu menit,’’ katanya.
Lagi-lagi, banyak hal yang harus diperbaiki. Bukannya mengendurkan tensi latihan, Pardal malah terus menaikkannya. Kali ini, tim harus masuk ke kolam ’’neraka’’ untuk lari sprint di dalam air. Pardal memperagakan lebih dahulu lari sprint di dalam air itu. Dia memang bisa berlari di dalam air.
Akhirnya, giliran belasan anggota Tim Rifle yang mencoba. Mereka langsung mengambang ke permukaan setelah tiga langkah lari. Semua menu latihan itu terus dilakukan berulang-ulang. ’’Pokoknya sampai teler,’’ ujar Pardal bercanda.
Namun, menu latihan ala Kopassus tersebut membuat beberapa anggota Tim Rifle mulai tidak tahan. Beberapa di antara mereka me- nyerah. ’’Mereka sempat cerita ke saya ingin keluar dari tim,’’ ujarnya.
Apalagi ada perbedaan besar di militer Brunei. Anggota Tim Rifle dianggap belum berprestasi sehingga kurang dihargai dan tidak mendapat kompensasi dalam karir. ’’Kalau di Indonesia, masuk tim menembak, karirnya bisa lebih cepat. Tetapi, berbeda di Brunei.”
Masalah itu tidak membuat Pardal kehilangan akal. Dia terus berupaya agar anak didiknya tetap bersemangat. ’’Saya yakin, kalau berprestasi, tentu ada imbal baliknya,’’ tegas anggota TNI yang saat ini bertugas di Papua Barat tersebut.
Setelah sepuluh bulan, stamina Tim Rifle mulai naik drastis. Terutama teknik pernapasan yang begitu penting untuk menembak. Pardal menuturkan, pernapasan sangat penting agar penembak tidak goyang saat membidik dan menembak. ’’Semua menu latihan itu dilakukan selama sepuluh bulan,’’ jelasnya.
Akhirnya, tiba giliran untuk menguji hasil latihan tersebut dalam kompetisi internasional AARM 2013 di Myanmar. Sebelum 2013, Brunei selalu berada di papan dasar klasemen tembak di AARM. ’’Sebelumnya selalu di nomor delapan di antara sepuluh negara yang ikut menembak,’’ ujarnya.
Tetapi, kali ini berbeda. Kesiapan setelah berlatih bersama anggota Kopassus membuat tim Brunei sangat percaya diri. Setelah total dalam mengikuti lomba prestisius tersebut, tidak disangka, Tim Rifle Brunei mampu menempati posisi keempat setelah Indonesia, Filipina, dan Thailand. ’’Kali ini, mereka melampaui Malaysia dan Singapura yang biasanya di atas Brunei,’’ tuturnya.
Padahal, target mereka hanya lima besar AARM. ’’Tugas saya melatih menembak dan mendapatkan prestasi bagi Tim Rifle telah selesai,’’ ujar Pardal.
Setelah AARM 2013, tugas Pardal di Brunei juga usai. Saat akan pulang ke Indonesia, dia mendapat ucapan terima kasih dari semua orang. Bukan hanya Tim Rifle, pejabat militer Brunei setingkat KSAD juga memuji dan berterima kasih. ’’Memang, saya harus kembali, tentunya untuk mengabdi ke ibu pertiwi,’’ tegasnya. (*/c5/nw)