* Minsera.Blogspot.com * Direktur Kajian Politik Center for Indonesian National Policy Studies, Guspiabri Sumowigeno, menilai, latar belakang Australia menyadap komunikasi sejumlah petinggi Indonesia karena kekhawatiran mereka bahwa Indonesia akan "berpaling" kepada China.
Padahal, Barat (Amerika Serikat dan semua sekutunya di seluruh dunia) memiliki skenario alias strategi besar membendung pengaruh China di mana-mana, yang dinamakan China Containment.
Dalam konteks China Containment inilah maka perebutan pengaruh Barat dan China itu terjadi secara sengit.
"Inilah yang sekarang sedang membuat panik kekuatan-kekuatan politik Australia," kata Sumowigeno, Kamis.
China Containment merupakan cara Amerika Serikat dan sekutunya membendung peningkatan pengaruh China sebagai negara adidaya baru dalam ekonomi, militer, politik, dan budaya.
Menurut Sumowigeno, pengungkapan skandal penyadapan Australia dari kantor kedutaan besarnya di Jakarta ini, "Pasti merusak strategi yang ditujukan untuk membendung kebangkitan pengaruh China yang sedang muncul menjadi kekuatan adidaya ekonomi, politik dan militer."
Ia mengatakan, komitemen Indonesia terhadap China Containment itu cukup terlihat.
Indikasinya, Indonesia seolah tidak menganggap intervensi politik dan militer Australia dalam kampanye pelepasan Timor Timur dari Indonesia sebagai tamparan yang seharusnya membekas dalam pada 1999.
Adalah Australia yang berdiri paling depan dalam memberi tekanan politik dan kekuatan militer berupa International Force for East Timor (Interfet) ke Indonesia soal (saat itu) Provinsi Timor-Timur, pada awal 1999.
Australia sukses melepaskan Timor Timur dari Indonesia pada Agustus 1999, juga "membentengi" jajak pendapat PBB yang diketahui juga tidak berlangsung secara jujur dan adil sepenuhnya. Keberhasilan memereteli wilayah Indonesia oleh Australia pada Timor Timur inipun tidak dianggap hambatan psikologis berarti oleh Indonesia.
Indonesia kemudian cepat membalikkan keadaan, dari krisis menjadi persahabatan dengan Timor Timur, sejalan keberhasilan tim perumus Komisi Kebenaran Persahabatan yang dibentuk bersama.
Dengan Australia, hubungan itu juga diubah segera, terutama setelah dijalin kerja sama pada 2001; padahal kebanyakan kerja sama itu lebih menguntungkan Australia, di antaranya Indonesia menjadi "benteng" pemberantasan gelombang imigrasi gelap ke Australia.
Indonesia, kata dia, tetap menjalin hubungan mesra nyaris seperti sekutu dengan Australia, meskipun dalam kacamata politik internasional telah diperlakukan secara keji oleh Australia dalam persoalan Timor Timur.
"Indonesia tidak mendapatkan imbalan sepadan untuk jasanya mencegah kejatuhan Timor Portugis ketangan kelompok kiri atau komunis yang meresahkan Australia sebelum tembok Berlin runtuh," kata dia.
Dalam perspektif Beijing, lanjut dia, sikap ini konfirmasi bahwa Indonesia memang ikut menjadi pilar dari China Containment. China dianggap lebih sebagai ancaman yang nyata ketimbang Amerika Serikat dan sekutu-sekutu Barat-nya, termasuk Australia.
Ia mengatakan kepanikan Australia saat ini juga karena negara Timor Timur kemudian ternyata juga bukan anak manis bagi Negara Kanguru itu dan berkali-kali menggunakan "kartu China" untuk kepentingan nasionalnya.
Paling jelas adalah menekan Australia agar mau lebih jujur, adil, dan terbuka soal pengelolaan minyak dan gas Bumi di celah Timor. Minyak Bumi di celah Timor yang digembar-gemborkan Australia ada dalam jumlah sangat besar itu diangkut dan dikilang di Australia.
Negara Timor Timur hanya mendapat semacam "bagi hasil" dengan perhitungan deposit pasti minyak Bumi dan gas, eksploitasi mereka, dan keuntungan yang hanya diketahui segelintir pihak saja.
"Wacana pembukaan pangkalan militer China di negara Timor Timur amat menggetarkan Australia," katanya.
Salah satu faktor yang menghalangi hal itu tidak terwujud adalah karena tiada restu dari Jakarta, dan China masih menimbang perasaaan Indonesia, bila mereka jadi membuka pangkalan militer di dalam wilayah gugusan kepulauan Nusantara.
"Tingkat kepercayaan Indonesia yang menipis pada Austraia bisa membuat Jakarta mengambil sikap berbeda terhadap wacana itu untuk membuat perhitungan," ujarnya.
* Minsera.Blogspot.com * Pakar pertahanan Australia Philip Dorling mendesak Perdana Menteri Australia Tony Abbott segera meminta maaf kepada Indonesia. Menurutnya, Australia memerlukan kerendahan hati untuk mencegah kerusakan besar dalam hubungan diplomatiknya dengan Indonesia yang notabene merupakan salah satu negara tetangga terdekat mereka.
“Tony Abbott tak boleh menunda meminta maaf kepada Indonesia. Lebih penting lagi, ia harus menggelar penyelidikan berskala besar terhadap badan dan agen-agen intelijen Australia,” kata Dorling dalam kolomnya di harian Australia, The Sydney Morning Herald, Rabu 20 November 2013.
Dorling berpendapat apabila pemerintah negaranya bersikukuh tak mau minta maaf, maka bukan tak mungkin kerusakan diplomatik tak hanya terjadi pada hubungan antara Australia dengan Indonesia, tapi juga dengan negara-negara Asia lainnya yang sejak lama menjadi target penyadapan Badan Intelijen Australia (Defence Signals Directorate).
Doktor lulusan Flinders University itu menilai PM Tony Abbott dan Menteri Luar Negeri Julie Bishop terjebak pada pola kaku meskipun Australia sudah nyata-nyata tertangkap basah menyadap Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyoho, istrinya, dan delapan pejabat serta mantan pejabat tinggi RI lainnya.
Pernyataan Abbott yang mengatakan pemerintahnya tak mengomentari persoalan intelijen dianggap sama sekali tak membantu. Dorling melihat Abbott seperti berharap ketegangan antara Indonesia dan Australia akan mereda dengan sendirinya. “Dalam jangka panjang, sikap itu benar. Tapi masalahnya, seberapa besar kerugian yang akan diderita Australia dengan membiarkan persoalan ini,” ujarnya.
Dorling mengingatkan Abbott tentang betapa seriusnya langkah Indonesia dalam menurunkan derajat hubungannya dengan Australia. “Dubes RI ditarik dari Australia, dikaji ulangnya kerjasama bilateral dengan Australia, dan status staf Kedutaan Australia di Jakarta yang tak pasti, semua itu menunjukkan kerasnya posisi pemerintah Indonesia terhadap isu ini,” kata dia.
Patut diingat, ujar Dorling, Australia butuh kerjasama Indonesia dalam isu-isu sensitif semacam penyelundupan manusia atau imigran gelap yang tak hentinya memasuki negeri itu. Australia juga punya kepentingan besar dalam program pemberantasan terorismenya bersama Indonesia. “Dalam diplomasi regional, Jakarta dapat dengan mudah mempersulit posisi Australia,” kata dia.
Dorling menyimpulkan, permintaan maaf amat perlu dikeluarkan Australia. “Suka atau tidak, Australia ketahuan menyadap, dan ini harga yang harus kita bayar,” ujarnya. Lagipula, kata dia, sekedar permintaan maaf tak akan mengurangi kemampuan Australia di masa depan untuk melindungi kepentingan nasionalnya.
Sebelumnya, PM Tony Abbott mengatakan pemerintah manapun di dunia punya tugas utama melindungi negaranya dan mengedepankan kepentingan nasional. “Setiap pemerintah mengumpulkan informasi, dan mereka (Indonesia) pun tahu bahwa pemerintah negara lain melakukan hal serupa,” ujar Abbott di hadapan parlemen Australia.
Sebagai perdana menteri, Abbott harus memastikan keselamatan setiap warganya. “Itu sebabnya kami mengumpulkan informasi intelijen,” ujarnya. Namun Abbott menjamin informasi yang diperoleh Badan Intelijen Australia tak akan digunakan untuk hal buruk.
Namun Presiden SBY tak terima dengan ucapan Abbott itu. Ia melontarkan kemurkaannya lewat Twitter. “Tindakan (penyadapan oleh) Amerika Serikat dan Australia jelas telah merusak kemitraan strategis dengan Indonesia sebagai sesama negara penganut sistem demokrasi. Indonesia menuntut Australia memberikan jawaban resmi yang dapat dipahami publik terkait isu penyadapan terhadap Indonesia,” kata SBY.
* Minsera.Blogspot.com * Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko menarik pulang lima pesawat tempur F-16 dari Darwin, Australia, menyusul dihentikannya sejumlah kerjasama militer Indonesia-Australia, Rabu 20 November 2013.
Dalam keterangan resmi, Panglima juga akan menarik seluruh personel pendukung pesawat yang sedianya akan mengikuti kegiatan Air Man to Air Man Talk. Ini merupakan program kerjasama antara TNI AU dengan Royal Australian Air Force (RAAF).
Mabes TNI juga menghentikan kerjasama penting lain, seperti kerjasama dalam bidang informasi dan intelijen.
Jenderal Moeldoko juga menghentikan Latihan Bersama TNI AD dan Royal Australian Army. "Kegiatan itu adalah Latihan Bersama Kartika Bura dan Latihan Bersama Down Komodo," katanya.
Program lain yang dihentikan adalah Latihan Bersama TNI AL dan Australian Navy, seperti Latihan New Horizon TTX, Latihan Initial Planning Conference KAKADU, dan Observer Ex Black Carilion. "Selain itu, seluruh latihan bilateral yang akan dilaksanakan TNI, baik TNI AD, TNI AL, maupun TNI AU dengan Angkatan Bersenjata Australia juga dihentikan sampai dengan waktu yang tidak ditentukan."
Penghentian kerjasama militer ini merupakan buntut kemarahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas aksi penyadapan telepon terhadap sembilan pejabat negara. Penyadapan Australia ini dilakukan pada masa pemerintahan Kevin Rudd
Sumber: http://nasional.news.viva.co.id/news/read/460173-panglima-tni-tarik-jet-tempur-dari-australia